Tsaqofah

BERQURBAN, TANDA SYUKUR KEPADA ALLOH SWT

1.Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.
2. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berqurbanlah.
3. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.
(QS. Al Kautsar)

Suatu hari, Nabi Ibrahim bermimpi, Alloh memerintahnya untuk menyembelih putra kesayangannya, Ismail. Saat mimpi ini diceritakan kepada putranya, haru menyelimuti hatinya, Ismail bersedia. Berangkatlah Nabi Ibrahim dan Ismail melaksanakan perintah Alloh.
Dalam perjalanannya, Nabi Ibrahim dan Ismail diganggu oleh setan. Setiap setan mendekat dan membisikkan keraguan, maka Nabi Ibrahim dan Ismail melempar setan dengan kerikil. Tiga kali gangguan setan, tiga kali pula nabi melemparnya. Ketiga tempat pelemparan kerikil tersebut menjadi salah satu rukun haji yaitu melempar jumroh.
Perjalanan-pun dilanjutkan. Sampailah Nabi Ibrahim dan Ismail di tempat yang telah ditentukan. Ismail telah bersiap-siap. Dengan basmallah, Nabi Ibrahim mulai menyembelih Ismail. Subhanalloh, Maha Suci Alloh, terdengarlah suara kambing mengembik seiring pedang terhunus. Ismail tetap dalam keadaan hidup dan sehat, tanpa luka sedikitpun. "Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar" [QS. Ash Shaaffat : 107].
Sesudah nyata kesabaran dan ketaatan Ibrahim dan Ismail a.s. maka Allah melarang menyembelih Ismail dan untuk meneruskan qurban, Allah menggantinya dengan seekor sembelihan (kambing). Peristiwa ini menjadi dasar disyariatkannya Qurban yang dilakukan pada hari Raya Haji.

DALIL QURBAN
Al-qur'an surat al kautsar ayat 2 yang maksudnya Allah telah melimpahkan nikmat yang banyak karena itu bersembahyang dan berkorbanlah dengan menyembelih hewan serta mensyukuri nikmat yang telah Alloh berikan.
‘Aisyah ra menceritakan bahwa Nabi SAW bersabda, “Tidaklah anak Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr (Iedul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan darah (qurban), maka hendaknya kalian merasa senang karenanya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim).

HEWAN QURBAN
Hewan yang diperbolehkan untuk qurban adalah hewan ternak (onta, sapi, kambing) dan tidak boleh selain itu.
Satu ekor kambing cukup untuk sekeluarga. Sebagaimana Abu Ayyub ra mengatakan, “Pada masa Rasulullah SAW seorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya.” (HR. Tirmidzi).
Seekor Sapi dijadikan qurban untuk 7 orang. Sedangkan seekor onta untuk 10 orang. Dari Ibnu Abbas ra beliau mengatakan, “Dahulu kami pernah bersafar bersama Rasulullah SAW lalu tibalah hari raya Iedul Adha maka kami pun berserikat sepuluh orang untuk qurban seekor onta. Sedangkan untuk seekor sapi kami berserikat sebanyak tujuh orang.” (HR Ibnu Majah)
Dalam masalah pahala, ketentuan qurban sapi sama dengan ketentuan qurban kambing. Artinya urunan 7 orang untuk qurban seekor sapi, pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga dari 7 orang yang ikut urunan.

KETENTUAN HEWAN QURBAN
Hewan ternak yang digunakan untuk qurban harus dewasa dan memenuhi persyaratan umur yaitu Onta 5 tahun, Sapi 2 tahun, Kambing jawa 1 tahun, Domba/ kambing gembel 6 bulan.
Hewan ternak tersebut harus sehat, tidak ada cacat fisik seperti buta, pincang, sakit, dan sudah tua. Cacat lainnya telinga terpotong, tanduk patah/pecah, ompong, tidak berekor, dan tidak berhidung. Hewan ternak yang bunting tidak boleh dijadikan hewan qurban.
Hendaknya hewan yang diqurbankan adalah hewan yang gemuk dan sempurna. Abu Umamah bin Sahl mengatakan, “Dahulu kami di Madinah biasa memilih hewan yang gemuk dalam berqurban. Dan memang kebiasaan kaum muslimin ketika itu adalah berqurban dengan hewan yang gemuk-gemuk.” (HR. Bukhari).



PENGORBANAN CINTA


Di masa Rasulullah Saw, ada seorang wanita mulia bernama Al Khansa binti Amru. Beliau seorang yang amat baik keislamannya sehingga menjadi lambang ketenangan, kemurahan hati, keberanian, kebesaran jiwa, pengorbanan dan kemuliaan.
Al Khansa menikah dengan Rawahah bin Abdul Aziz dan dikaruniai 4 anak lelaki yang dengan kasih sayang, pembinaan, pendidikan, dan dorongannya menjadi pahlawan-pahlawan Islam. Mereka syahid atas nama cinta, dalam pertempuran jihad Al-Qadisiyyah.
Menjelang peperangan, Al-Khansa berwasiat kepada putra-putranya: "Wahai Anak-anakku. Sesungguhnya kalian telah masuk Islam sebagai orang-orang yang taat. Kalian telah hijrah sebagai sebuah pilihan. Demi Allah, yang tiada Tuhan selain Dia. Sesungguhnya kalian adalah putra-putra dari seorang ayah dan seorang ibu. Nenek moyang kalian tak ada yang tercela, demikian pula paman-paman kalian. Kalian telah mengetahui dan meyakini apa yang dijanjikan Allah kepada kalian berupa pahala yang besar dalam memerangi orang-orang kafir.
Dan ketahuilah bahwa negeri yang kekal itu lebih baik daripada negeri yang fana. Apabila kalian bangun esok pagi dan Allah menghendaki kalian selamat, maka berangkatlah untuk memerangi musuh dengan sabar dan mohonlah kepada Allah kemenangan. Apabila kalian menyaksikan perang sedang berkecamuk serta api pertempuran semakin panas, maka kobarkanlah api pertempuran itu. Singsingkanlah lengan baju dan majulah paling depan. Maka engkau akan meraih kemenangan dengan membawa ghanimah dan kemuliaan di negeri yang kekal. Wahai anakku, carilah maut niscaya dianugerahi hidup. "Mendengarkan wasiat ibunda tercinta, mereka pergi dalam keadaan gembira. menuju medan jihad. Merajut cinta Allah, berbekal cinta ibunda. Mereka berjuang mati-matian melawan musuh hingga syahid satu demi satu. Ketika Khansa mendengar kesyahidan anak-anaknya, la pun beristirja dan berkata, “Alhamdulillah, Allah telah memuliakanku dengan syahidnya anak-anakku. Semoga Allah segera memanggil dan berkenan mempertemukan aku dengan anak-anakku dalam naungan rahmat-Nya yang kokoh di surga-Nya yang luas”.
Di belahan bumi dan masa yang lain, hidup pula seorang tua yang terus berusaha merajut cinta Allah.
Ia meng-abdikan hidupnya sebagai marbot. Baginya itu adalah tugas mulia. Abah Marbot, begitu ia biasa dipanggil.
Ada saat yang gembira, yaitu ketika masjid ramai dengan anak-anak yang belajar mengaji. Meski ia harus lelah dengan polah anak-anak yang mengotori masjid dengan kaki-kaki kotor mereka, Abah justru senang, Baginya semua itu akan menambah amalnya. Tak semua orang mampu berhati lapang seperrtinya. Ada juga saat yang membuatnya menitikkan airmata, yaitu Hari Raya Idul Adha.
Hakikat Qurban adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan cara menunjukkan wujud cinta berbentuk sebuah pengorbanan. Abah Marbot ingin sekali bisa berqurban seperti jamaah lainnya. Namun tiap menyimak harga seekor domba, Abah tertunduk lesu. Cita-cita untuk berqurban baru sebatas mimpi. Karena dengan honor marbot mustahil baginya bisa membeli seekor domba qurban.
Menyadari itu, maka bertahun-tahun Abah menjalani peran sebagai panitia qurban. Setiap Idul Adha, ia tak pernah absen, Kadang ia mendapat tugas 'khusus' membersihkan kotoran hewan qurban yang sudah disembelih. Saat panitia lainnya sudah kembali ke rumah masing-masing, Abah masih harus membersihkan halaman masjid dari kotoran dan bercak darah yang menempel di lantai masjid. Dengan itu Abah berharap, meski belum bisa berqurban setidaknya Allah tahu Abah berada di tengah-tengah orang yang berqurban, bersama orang-orang yang mendekatkan diri dan menunjukkan cinta kepada Allah. Hingga 70 tahun usianya, semangatnya tak pernah redup untuk hadir di hari pemotongan hewan qurban. Meski tangannya sudah lemah dan terlihat gemetar saat memegang pisau pemotong daging ia tetap bersemangat. Sesekali ia bersandar di tembok masjid untuk melepas lelah.
Al Khansa dan Abah marbot, 'membeli' cinta Allah dengan caranya masing-masing, Dan semuanya mempunyai nilai yang tinggi bagi masing-masingnya. Sehingga menjadi sesuatu yang pantas disebut pengorbanan cinta. (Hadila Edisi 41).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar